Selasa, 09 Agustus 2011

KETRAMPILAN KONSELING Untuk Meningkatkan Ke-profesional-an Guru Pembimbing


Banyak sekali keluhan guru Pembimbing tantang masalah yang harus dihadapi di dunia kerjanya. Pada umumnya mereka mengeluhkan tentang lingkungan sekolah yang kurang mendukung profesinya sebagai guru pembimbing.
Melihat dan mendengar itu, mari kita Intropeksi diri sebagai Guru Pembimbing. Cobalah untuk melihat diri kita, apa yang sudah kita lakukan di lingkungan kerja kita. Ilmu apa yang sudah kita sumbangkan untuk lingkungan kerja kita......
Perlahan-lahan....mari kita ciptakan dunia kerja kita yang menyenangkan. Lingkungan kerja yang mendukung kita dan Merangkul semua sahabat-sahabat dan teman-teman di sekolah untuk mendukung kerja kita.
Memang tidak semudah membalik telapak tangan...karena yang dihadapi adalah bermacam-macam karakter manusia.Untuk itu,mulailah mendekati orang yg lebih memahami apa itu BIMBINGAN KONSELING....dan perlahan-lahan memberikan pengenalan kepada mereka yang tidak mengerti tentang BIMBINGAN KONSELING. Namun tidak juga semudah itu untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan.Masih ada juga guru-guru yang memandang negatif tentang BIMBINGAN KONSELING atau dengan Guru pembimbing.
Dengan satu tekat dan semangat...Mari kita bekerja secara profesional, sehingga segelintir orang-orang yang memandang negatif itu tidak menjadikan suatu hambatan kita dalam berkarir. Hadapi mereka dengan senyuman......
Untuk menjadikan kita bekerja profesional, kita perlu ilmu yang mendasar, terutama dalam melakukan layanan...oleh sebab itu izin kan saya menuliskan informasi tentang KETRAMPILAN KONSELING.
Tulisan ini saya copy dari http://fitrasoka.multiply.com
Baiklah, untuk melaksanakan teknik konseling dengan baik, kita perlu memiliki keterampilan mendengarkan dan mempelajari. Apaan tuh.....? Biar gak keriting, keterangan ilmiahnya ga perlu ya (padahal ga tau) .


1. Komunikasi non verbal
Komunikasi non verbal ini kira-kira adalah komunikasi yang gak pake kata-kata. Bisa dari penampilan kita, mimik muka, maupun gumaman gak jelas seperti "Mmm....", "Ooh...". Jenis komunikasi ini bisa memperlihatkan bahwa kita memperhatikan apa yang lawan bicara sedang bicarakan. Oke, ga terlalu banyak masalah, cukup ditambah cengar-cengir dikit, beres.....

Yang dijadikan catatan kemarin adalah mengusahakan kepala sama tinggi, misalnya lawan bicara duduk kita ikut duduk, beliau berdiri kita ikut berdiri. Tapi untuk ketinggian yang berhubungan dengan anatomi tubuh yang emang segitu-gitunya tentu tidak perlu dipaksakan, hehehe....

Selain itu adalah memberi perhatian, menyingkirkan penghalang (contohnya terlalu terpaku pada form isian di tangan misalnya, akan menghalangi komunikasi dengan lawan bicara). Lalu... menyediakan waktu, gak so' sibuk dan terburu-buru, sambil sedikit-sedikit liat jam misalnya. Serta melakukan sedikit sentuhan yang wajar. Untuk poin terakhir sempat dilakukan diskusi garing tentang "sentuhan". Rekan yang demo mempraktekkan sentuhan ringan di paha dekat lutut si pasien (dua-duanya perempuan), seorang teman yang lain komplen bahwa itu bukan sentuhan yang wajar buatnya. Akhirnya kami menyepakati bahwa sentuhan wajar yang bisa digunakan adalah sentuhan ringan di bahu saja, tidak di bagian tubuh yang lain . Kalau berlainan jenis lebih baik gak bersentuhan sama sekali daripada disangka ganjen.


2. Pertanyaan terbuka
Nah ini dia.... Ini pertanyaan yang bisa memancing banyak jawaban, yang tidak sekedar "ya" atau "tidak". Diharapkan dengan pertanyaan seperti ini si pasien/klien/siapapun bisa bercerita semua tentang permasalahannya yang sedang kita gali. Ini rada hese buat yang pernah belajar anamnesis seperti saya, yang terbiasa bertanya untuk mendapatkan jawaban-jawaban pendek dan jelas, to the point tea lah.

Kadang saya masih mikir, kenapa sih harus nanya dengan cara yang akan menghasilkan jawaban yang mungkin berputar-putar, kan mending kita tanya to the point? Hehe.... Tapi kayaknya sih karena pertanyaan terbuka dapat membuat dia bercerita boanyaaak, dan akan lebih nyaman buat dia (kalo kitanya ndengerin tentunya... ). Kalo pake gaya anamnesis gitu mungkin orang tersebut akan kurang terbuka. Padahal kita membutuhkan banyak data sensitif termasuk kondisi ekonomi, kondisi rumah, dukungan terhadap ibu dan laen-laen. Gitu meureun.....


3. Mengatakan kembali apa yang lawan bicara katakan.
Ini bermanfaat terutama untuk merespon kata-kata lawan bicara yang sebetulnya kurang tepat berdasar fakta. Kita tidak disarankan untuk menyetujui pendapat yang salah, tapi juga tidak boleh menunjukkan ketidaksetujuan karena akan membuat lawan bicara kurang nyaman. Tapi juga gak bisa diem aja karena akan keliatan gak responsif dong, hehe..... *Halah, ribet..*

Bagian sini juga rada hese, karena refleks kita biasanya langsung ingin menampik kata-kata yang salah. Misalnya... seorang ibu mengeluh anaknya sering menangis dan menganggap hal tersebut karena ASI-nya kurang. Bahkan untuk mengatakan : "Jangan khawatir Bu, anak ibu gak apa-apa kok.... ASI ibu pasti cukup," adalah respon yang kurang tepat. Hal tersebut akan membuat si ibu merasa kurang dipahami, tidak dipercaya, merasa tidak mampu, merasa perasaannya salah, dan lain-lain yang akan mengurangi rasa percaya dirinya, padahal percaya diri adalah kunci seorang ibu mampu menyusui.

Dengan demikian akan lebih aman jika kita sekedar melakukan pengulangan atas kalimatnya, misalnya begini,"Jadi menurut ibu, Anto (gunakan nama anaknya) sering menangis karena ASI ibu kurang?" Dengan begitu kita tidak mengiyakan, juga tidak melawan, tapi bahkan akan memancing si ibu bercerita lebih banyak. Responnya akan menjadi, "Iya.... soalnya... bla... bla... bla...." Nah, jadi tambah akrab kan....?


4. Berempati, menunjukkan bahwa kita mengerti bagaimana perasaannya.
Nyang ini juga sulit, hahaha.... Empati ini juga dapat dilakukan dengan pengulangan kata-kata si ibu. Misalnya si ibu bilang dirinya bingung, kita menimpali dengan "Ibu bingung ya...?" Pengulangan kata ini yang menurutku cukup mudah. Tapi tentunya terus-menerus melakukan pengulangan kata lawan bicara lama-lama bisa kelihatan menyebalkan, jadi daripada disambit pasien karena kita kayak membeo, mendingan kita belajar cara-cara lain untuk menunjukkan empati.


5. Menghindari kata-kata yang terdengar menilai/menghakimi.
Misalnya seorang ibu-ibu usia belasan tahun membawa anaknya yang berusia 3 bulan, si anak tampak kurus dan tidak sehat, si ibu membawa-bawa botol yang tampak kotor dengan susu yang sudah setengah basi di dalamnya. Dari berat badannya saja sudah kelihatan bahwa beratnya kurang, pemberian makannya salah, higienenya apalagi. Tapiii......... kita harus menahan diri untuk tidak menyalahkannya, bahkan untuk mengungkapkan fakta bahwa, "Waah, anak ibu beratnya kurang nih...."

Nah lo..., jadi diapain donk.... Akan saya tulis di artikel berikutnya yah, konseling (2) biar gak kepanjangan :-).

Agak beribet memang belajar konseling ini, seakan-akan membuat hal yang seharusnya gampang jadi susah, hehe.... Tenaga kesehatan yang ikut pelatihan ini biasanya agak kesulitan, ya karena sudah terbiasa to the point dan penuh instruksi tea lah. Rekan-rekan peserta pelatihan yang biasa pecicilan, waktu diminta mengemukakan pendapat dengan cara konseling bicaranya langsung jadi terbata-bata semua, karena pake mikirrr, hihi.... Belum biasa sih....

Jadi inget satu pengalaman berkaitan dengan ini, dulu waktu anak saya usia 7 bulan pernah kontrol ke dokter anak, terlihat bahwa berat anak saya kurang, waktu datang saat itu respon beliau cukup enak, saya pulang dan menjalankan instruksinya. Bulan depannya saya datang lagi, setelah ditimbang beratnya ternyata bisa naik, tapi... beliau berkomentar, "Naah, gitu dong, dikasih makan anaknya, harus rajin....".
Hmm... perasaan saya dulu tuh kayaknya yang, 'Eh... emang saya gak ngasih makan ya, emang saya males?' Hehe.... yang gitu-gitu deh. Bulan-bulan selanjutnya anakku susah makan lagi dan beratnya kayaknya gak nambah, tapi udah gak minat lagi tuh konsul ke dokter itu, takut dicela kalo ternyata beratnya gak naik lagi. Kayak gitu kali ya ilustrasi betapa pentingnya keterampilan konseling........ (bersambung)

Tidak ada komentar: